
Pernahkah kau terfikirkan bila yang biasanya cinta menghampirimu dalam
nyata kini datang dalam dunia yang menurutmu tak nyata? Penuh sesak dengan
ribuan pemilik akun pribadi, mereka tak tersentuh dan hanya dapat kau lihat
dengan kedua penglihatanmu. Bila kau pernah mungkin kau tertawa. Menganggap
cinta itu hanyalah sebuah mainan perasaan. Penuh dengan kebohongan yang
dibingkis manis. Atau mungkin kau meremehkan cinta yang seperti itu tak akan
bertahan lama dan kandas tertelan kejamnya waktu. Itu menurutmu.
Menurutku cinta seperti itu adalah tantangan yang harus
ditaklukkan dari hantaman ombak godaan. Dihadapanmu mungkin aku terlihat
seperti gadis bodoh yang mau memperjuangkan cinta yang kutemukan dalam maya.
Cinta takkan peduli dimana dia akan bertemu dengan hati yang kosong.
Sore di Kota Lumajang ini nampak ramai. Berada di sebelah selatan pulau
jawa, Jawa Timur. Diapit diantara tiga kota besar, Malang, Probolinggo, dan
Jember, namun banyak orang yang tak mengerti dengan kota kelahiranku ini.
Banyak yang bertanya saat aku memperkenalkan diri dengan ribuan orang yang ada
di sosial mediaku, twitter misalnya. Apa karena kota ini kecil? Apa karena
kotaku tak memiliki gedung-gedung yang megah hingga orang diluaran sana tak
mengerti kotaku yang sangat permai ini? Jalan terlihat saat ramai namun tak
macet seperti di kota – kota besar, penuh dengan kendaraan-kendaraan pribadi
dan umum memenuhi badan jalan, saling berebut jalan menuju rumah yang tenang.
Aku yang melangkah pelan sambil melihat keramaian di jalan itu seseorang
tersenyum, menyentuh pundakku pelan.
“Jalannya kok diliatin sih? Mending liatin aku, cowo yang super ganteng
ini” Deretan giginya terlihat. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.
“Haha.. Apaan sih kamu kak?” Aku menunduk, menyembunyikan tawaku.
“Udah jangan disembuyiin kalo ketawa. Aku kan pengen liat kamu ketawa.
Masa tau ketawanya cuma di handphone? Ga asik ah” Dia mendesah,
sepertinya kesal. Bibirnya manyun seperti anak kecil yang menginginkan ice
cream tapi tak dituruti oleh ibunya
Cup! ciumanku mendarat di pipinya. “Iyadeh maaf ga gitu lagi” Aku
tersenyum.
Dia tersenyum dan menggandeng jemariku erat menuju taman kota Lumajang
yang tak jauh dari jalan kota dan tampak agak ramai. Bercengkrama sedekat ini
sangat aku impikan. Sehangat ini yang aku inginkan. Aku tak ingin sore ini
berubah menjadi malam.
Aku dan dia berjalan menyusuri jalan kecil di Taman Kota Lumajang. Ini
yang paling dibanggakan dari taman kota, pohon beringin yang berdiri kokoh
ratusan tahun yang lalu menyambut kedatangan kami dengan daunnya yang melambai
tersenggol angin sore yang nakal. “Kita duduk disini ya, sayang” Langkahnya
terhenti di dudukan taman dan menuntunku duduk di sampingnya. Angin sore
menyentuh lembut. Kicauan burung – burung kecil bersiul seakan iri melihat anak
adam dan hawa ini sedang duduk bersama. Dulu suara itu hanya bisa aku dengarkan
lewat handphoneku, keramahannya yang dulu hanya bisa kurasakan
dalam pesan singkat, rindu yang dulu datang dan kunikmati sendiri menghilang
begitu saja karena kini dia ada di depanku. Ia menatapku lekat seakan tak
membiarkanku menatap yang lain selain dirinya. Menggenggam erat kedua tanganku
tak mengingkanku pergi. Aku juga merasakan hal yang sama.
Tak kusangka, cinta yang kuperjuangkan dengan ribuan air mata dikala dia
disana, cinta yang kutunggu ribuan hari, cinta yang menurutku akan kandas
dimakan waktu dan cinta yang aku temukan dalam sosial media kini menjadi nyata.
Tak percaya tapi ini nyatanya....
---
Terluka. Aku sangat terluka. Aku ingin meluapkan semua rasa kecewaku
tapi pada siapa? Sosial media. Ya. Hanya dia yang mengerti.
‘Akhirnya sakit itu terulang kembali.’
Telah berapa banyak kata-kata kecewaku yang kubuang dalam media
sosialku? Tak terhitung. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk meredam semua
perasaanku. Aku menangis saat jemariku menuliskan kata-kata itu. Hancur. Itu
yang kurasa. Terkadang aku juga berharap seseorang yang memutuskun untuk
beranjak pergi dari hati ini mengerti betapa sesaknya perasaanku yang dipenuhi
luka. Tak mungkin.
Aku tak tau apa yang harus kuperbuat saat ini. Menunggu ataukah ikut
beranjak pergi dari kenangan yang selalu menjeratku erat?
‘Jangan galau terus ade cantik. Gabaik galau terus’
Hatiku tak peduli dengan mention yang masuk. Memberiku ribuan kata-kata
untuk bangkit. Tapi hatiku tertarik pada satu mention.
‘Udah dong jangan sedih, daripada kamu sedih mending kenalan sama aku’
Kak Fadil, pria yang ku kenal lewat twitterku itu mampu menyentuh
perasaanku yang dihujam oleh sakit kepergiannya. Aku tak tahu apakah ini cinta
ataukah hanya pelarianku saja? Aku terus mencari jawabnya.
Jutaan detik aku lalui. Dia selalu ada di sampingku menggenggam tawaku
agar tak jatuh. Aku nyaman. Tapi aku juga takut cinta ini semu hanya
pelampiasaan kekecewaanku. Aku juga takut dia hanya mempermainkan
keadaanku yang tak stabil seperti ini, apalagi hanya bertemu dalam dunia
yang tak pernah bertatap tapi terasa nyata. Entah angin mana yang bertiup ini
membuatku yakin, dia pasti bisa menjagaku. Menjaga senyumku agar tak luntur
lagi.
Kucoba melangkah meninggalkan kenangan yang selalu menarikku. Kuhabiskan
waktuku berpesan singkat dengan malaikatku, Kak Fadil. Walaupun belum
sepenuhnya aku bisa melupakan seseorang di masa laluku, aku tetap mencoba.
Menjauh. Terus melangkah maju.
Cinta yang tumbuh itu makin nyata. Apalagi saat suara yang jauh disana
menyapa hariku. Kak Fadil mampu membawaku pergi dari masa yang amat kejam itu.
Selalu menyiksaku dengan cambukkan kenangan yang manis hingga aku lelah menahan
sakitnya.
“Sayang aku kangen kamu” Ucapannya di telepon itu tampak biasa namun
sangat spesial untukku. Aku juga merindukanmu Kak Fadil, sangat merindukanmu.
“Kapan yah kita bakal ketemu? Aku pengen peluk kamu. Aku pengen jagain
kamu pake tanganku. Aku gak tega liat kamu sendiri jagain diri kamu” Aku
mencoba menghilangkan kegelisahannya. Tak munafik, sebenarnya aku juga ingin
dia disini. Menjaga jiwaku yang terkadang lemah. Memberikan bahunya untuk
tempat aku bersandar saat aku menangis. Khayalku terlalu tinggi untuk menjadi
nyata. Namun bila garis takdirku berkata, itu semua bakal nyata di depan
mataku.
---
Satu bulan berlalu, hari ini adalah satu bulannya aku menjalani perasaan
yang sangat mendalam ini. Haa.. Sungguh baru pertama kali aku menjalani cerita
cinta seperti ini. Apakah Kak Fadil ingat dengan hari ini? Entahlah.
Seminggu terakhir ini, suara yang menemaniku setiap saat menghilang.
Perhatian yang dulu memelukku ketika sepi kini pergi. Kemanakah dirimu, Kak
Fadil? Aku sangat merindukanmu..
Setan membisikkan kata yang membangkitkan amarahku. Seakan dia dia
mengerti perasaanku dan mencoba menggodaku untuk mengakhiri hubungan yang tak
tahu akhirnya.
Apa jangan-jangan dia mendua? Apa jangan-jangan dia meninggalkanku? Kata
– kata itu selalu membelit otakku untuk terus berpikir. Mencari kepastian, tapi
dimana? Aku tak mengenal teman, sahabat, bahkan keluarganya. Sampai kapan aku
harus bertahan? Mempertahankan perasaan ini tanpa kutahu kabar dia di tempat
lain.
Kecewaku memuncak. Bagaimana tak memuncak, pikirkan saja, kamu sangat
merindukan seseorang tapi dia menghilang tertiup angin lalu. Aku mencoba membuka
semua akun sosial medianya. Tak ada aktifitas yang baru dari semua akun
sosmednya. Mengapa perasaanku menjadi kalut dan gelisah seperti ini? Ada apakah
denganmu sayang? Semoga Tuhan menjagamu...
“Ini nomer ponsel siapa? Kok kayaknya bukan nomer ponsel sini?” Aku
mengeryitkan dahiku, menerka siapa teman dari luar kota yang kukenal. Aku tak
pernah mengenalnya. Kubalas pesan singkat itu..
Iya aku Bintang, ini siapa?
Shasa, adik Kak Fadil, gadis yang berumur satu tahun lebih tua dariku
menelepon. Menangis tersedu. Perasaanku dipenuhi dengan tanya. Rasa takut
memikirkan yang tak baik muncul. Ada apakah ini?
“Bintang.. Kak Fadil..”
“Kak Fadil kenapa kak? Kenapa?”Aku bingung, rasa takutku makin
menjadi ketika suaranya terdengar pilu.
“Kak Fadil masuk rumah sakit Bintang. Seminggu yang lalu dia masuk
rumah sakit. Gagal ginjalnya kambuh lagi. Sebenarnya dia melarangku untuk
memberitau tentang kabarnya. Dia tak ingin kamu menangis karena penyakitnya.
Aku juga wanita, aku juga mengerti perasaanmu yang tak tahu kabar kekasihmu
selama seminggu itu. Karena itu aku menelponmu. ”
DEG! Aku lemas. Aku tak sanggup lagi berkata. Mulutku terdiam seakan tak
percaya dengan ucapan Kak Shasa. Tuhan, mengapa kau selipkan penyakit itu pada
tubuh seseorang yang sangat hamba sayangi? Ternyata selama ini, perasaan tak
enakku berakhir seperti ini. Apakah ini maksud dari perasaanku? Linangan air
itu jatuh. Aku tak menyekanya. Membiarkan air itu jatuh begitu saja yang
menunjukkan perasaanku ketika aku tak mapu berkata lagi.
“Kalau Kak Fadil ga dapet donor ginjal selama 3 tahun ini, dia
bakalan pergi. Pergi jauh ninggalin kita Bintang!”
Jatuhnya makin deras. Aku belum bisa merelakannya pergi. Tak sanggup aku
berkata lagi. Aku mencoba menyimpan suara tangisku agar tak terdengar Kak
Shasa.
“Tuuuuuttuttttt”
Ahh! Putus! Kak Shasa mematikan sambungan telepon. Mungkin dia tak
sanggup lagi berkata ataupun mungkin merasakan apa yang aku rasa. Aku tak tahu.
Mungkin dia membiarkanku merenungkan apa yang terjadi pada kekasihku itu.
Jangan ambil dia Tuhan. Aku masih belum sanggup. Biarkan aku dan dia
mempertahankan perasaan yang teramat kuat ini.
Pedih. Mungkin itu akhir dari cerita ini. Adanya penyakit bodoh itu, Kak
Fadil sekarang sekarat di rumah sakit. Mengapa penyakit itu menggerogoti tubuh
pria malang itu? Mengapa penyakit itu tak bisa Kau bagi denganku Tuhan? Agar
aku juga bisa merasakan sakitnya, bersama dia.
Suram. Tak ada semangat lagi. Seseorang disana terkapar di ruangan yang
berbau antiseptik itu berjuang untuk hidupnya. Aku hanya bisa berdoa. Hanya itu
yang bisa kulakukan. Semoga doaku ini bisa memelukmu walaupun jemari
kecilku tak mampu menjagamu..
---
Setelahnya, air mataku jatuh lagi dan lagi. Sebenarnya aku sudah lelah
menangis seperti ini. Aku masih belum bisa menerima keadaan itu. Belum lama
keadaan itu, suatu hal memporak-porandakan perasaan ini. Benci! Tapi aku cinta.
Siapa yang aku persalahkan? Perasaan ini ataukah waktu yang mendatangkan masa
lalunya kembali dalam kehidupannya kini?
Mega, gadis yang cantik, bulu matanya lentik, berambut panjang, suka
bersolek dan selalu terlihat anggun terlihat sempurna bagi penglihatan seorang
pria. Aku sering melihatnya dalam pose – pose fotonya di twitter. Sedangkan
aku, aku hanya gadis kecil, masih labil, terlihat sedikit tomboy dan tak suka
berteman dengan alat make up. Jelas sangat berbeda.
Hubungannya kandas, diterpa berbagai perbedaan, usia Kak Mega yang 5 tahun
lebih tua dari Kak Fadil dan pertentangan kedua keluargan karena perbedaan
agama. Pantas, dia sangat sulit melupakan kenangannya itu. Ternyata, selama
ini, dia masih menyimpan perasaan yang mendalam untuk Kak Mega. Sesungguhnya
aku sulit menerima keadaan ini, mau tak mau, aku harus melalui garis
takdirku.
Aku tak pernah menyesal terlanjur mencintainya. Aku tak pernah menyesali
tumbuhnya perasaan ini. Aku hanya kecewa. Kecewa dengan ketidakkejujuran Kak
Fadil. Aku sakit. Ini yang paling sakit. Setiap malam tubuh ini bersujud,
mengadukan semua perasaanku kepada Tuhan hingga tangisku jatuh begitu saja. Aku
ikhlas melakukan ini semua tanpa mengharapkan imbalan dari sosoknya. Hantaman
berbagai masalah menerpa hubunganku yang sudah berjalan cukup lama, 6 bulan.
Aku hanya bisa mengalah dan mengalah. Perasaanku terselubung dibalik kata “aku
baik-baik saja” padahal aku merasakan sakit. Tuhan, kapan cinta yang kuperjuangkan
penuh dengan air mata dan pengorbanan ini menjadi indah? Kapan aku berhenti
mengalah dengan keadaaan? Tuhan, berikanlah aku kebahagiaan dengan cinta yang
kuperjuangkan ini.
---
“HOOOOY! Ngelamun aja kamu!” Nindya, sahabat kecilku, mengagetkanku yang
ketahuan sedang memikirkan semua masalahku. Dia sahabat yang selalu mengerti
dengan semua keadaaanku. Semua keluh dan kesahku dicerna dengan baik. Aku tahu
itu terlihat sangat cerewet tapi dia adalah pendengar setiaku bahkan menjadi
psikologku ketika rasa frustasi menyergap.
“Wes, jangan ngelamun terus. Disini kan kita ceritanya
seneng-seneng bukan mikirin masalah. Buang dulu masalahmu. Aku tahu, kamu
merasakan sakit, tapi apa salahnya kamu melupakan sejenak masalahmu dengan Kak
Fadil. Tenangin dulu fikiranmu. Aku ngajak kamu kesini untuk buat kamu seneng,
bukan murung. Jelek loh tuh muka kalo manyun terus. Ini minum teh anget dulu!”
“Yeee... siapa yang ngelamun coba? Orang aku lagi liat-liat pemandangan
disini” Aku memukul pelan lengannya sembari menjulurkan lidahku. Aku menyereput
teh hangatku yang telah dipesan Nindya.
Disaat penat dan perasaan sedih menekan pikiranku, aku segera memilih
dan berlari menuju wisata alam di kota kecilku ini. Seperti pergi ke Gunung
Semeru, Gunung yang tertinggi di pulau Jawa ini. Ranu atau danau, Ranu
Pane, Ranu Klakah, Ranu Bedali, Ranu Pakis, Ranu Kumbolo dan Ranu Lading yang
berisi ratusan liter air dan ikan – ikan yang berlari kesana kemari membuat
jengkel para pemancing. Pantai? Ada Pantai Bambang, Pantai Tlepuk, Watu
Pecak,Watu Godeg memperlihatkan kuatnya ombak laut yang memporak porandakan
pasir di bibir pantai. Kebun teh Kertowono, banyak tanaman teh hijau terhampar
luas ribuan hektar yang membuatmu betah disini. Ataupun Goa Tetes yang katanya
bisa mendapatkan jodoh, katanya dan masih banyak lainnya. Ada yang medannya
cukup sulit ditempuh, ketika kakimu berhasil menempuh tantangan itu, kamu akan
disuguhi pemandangan yang indah. Hanya itu yang bisa menghilangkan penat
masyarakat Lumajang di waktu yang tak banyak. Mungkin berbeda denganmu yang
tinggal di kota besar, kamu bisa menghilangkan penat dan rasa sedihmu di mall -
mall besar.
Piket Nol, suatu tempat yang ada di Lumajang yang sangat menakjubkan.
Tempat yang ada di pegunungan yang cocok untuk berlibur murah namun bisa
menghilangkan rasa penat dalam kota. Sejuk dan masih alami walaupun banyak
kendaraan pribadi dan umum yang berlalu lalang pada jalan aspal yang sedikit
sempit. Maklumlah, ini adalah jalan menghubungkan antara Malang dan Lumajang
dari arah selatan. Di sebelah kanan, hutan yang sangat hijau, penuh dengan
pohon pinus dan pohon – pohon besar lainnnya. Tanaman liar menambah kesan
liarnya hutan diatas sana. Ini yang membuat udara disini begitu sejuk. Sebelah
kiripun, tak kalah, kalian bisa melihat kota Lumajang dari atas sini. Semuanya
nampak kecil dari atas sini. Ditambah lagi terlihat truk – truk besar yang
mengangkut pasir menuju kota. Ahh.. Indahnya kota kecilku ini.
Mungkin wajahku masih terlihat murung, Nindya, sepulang dari Piket Nol
mengarahkan motornya ke Senduro. Daerah ini terkenal dengan Pura dan pisang
yang berbeda dengan pisang di daerah lainnya. Pisang ini berukuran besar dari
pisang – pisang di kota lain, Pisang Agung. Terik matahari menusuk kulitku,
angin siang menyibakkan rambutku yang tak tersentuh oleh helm. Laju motor
Nindya mulai kencang saat suasana jalan terlihat sepi hanya dipadati oleh
beberapa kendaraan pribadi. Pohon pinus dan persawahan, banyak kutemui di
sepanjang jalan. Mungkin ini yang membuat Kak Fadil ngotot datang ke Lumajang
setelah mendengar ocehanku tentang Kota Lumajang tercinta ini. Bukan aku tak
membolehkan, aku hanya takut keadaannya semakin parah, karena aku tau dia tak
boleh terlalu capek.
“Ini bocah ngelamun lagi. Mbak..mbak! Udah nyampek tujuan nih. Ndak turun ta?”
Aku sigap. Aku terbangun dari lamunanku tentang Kak Fadil. Gila! Mengapa kamu
sangat menjerat perasaanku begitu kuat seperti ini hingga aku tak bisa melepas
tentangmu untuk beberapa saat saja? Aku mengelak sembari cengengesan. Aku turun
dari motor matic-nya, memakirkan motornya sambil meletakkan helm.
Langkah kami seirama memasuki Pura Mandaragiri Semeru Agung yang sangat
terkenal di Bali. Pada waktu tertentu, rombongan bis dari Bali menuju Pura ini.
Menurut orang Bali yang berkunjung, Pura ini adalah Pura tertua. Luas dan
suasananya mirip seperti di Bali. Rumah adat Bali menyapa langkah kakiku dan
Nindya. Kami berdua duduk di taman. Kenakalan Nindya muncul. Dia mengambil
gambarku disaat aku lagi manyun. Dia tertawa sambil menunjukkan gambar yang dia
ambil dari ponselnya. Aku mengejar dan menghapus gambar itu setelah aku
mendapatkan ponselnya. Nindya ngamuk, lucu sekali wajahnya. Ini yang membuat
aku dan Nindya tetap mempertahankan persahabatan kami sejak kecil. Dia malaikat
Tuhan yang membuatku bertahan menghadapi kerasnya dunia. Dia yang memapahku
ketika aku terjatuh. Dia juga orang yang pertama kali datang ketika aku
membutuhkan pertolongan. Dia, sahabat terindah yang aku miliki.
---
Lama tak berpesan singkat, membuat rinduku makin erat menjeratku hingga
membuat tangisku jatuh tiap malam. Apa kabarkah dirimu sayang? Aku kangen.
Apakah kamu merasakannya rindu yang sama?
Gelisah, buatku membuang kata – kata perasaanku di twitterku. Entah
karena apa, banyak pria di twitter yang berusaha mendekati. Aku pernah tergoda
tapi langkahku terhenti ketika aku mengingatnya bernyanyi untukku. Gelisah,
resah, sedih, harus kemanakah kubuang sementara perasaan ini agar kubisa
melihat terangnya dunia kembali?
Ekskul! Ya! Dia yang bisa menghapuskan semua rasa sakit ini. Untuk aku,
siswa yang baru saja masuk di sekolah SMA bisa mengikuti apapun. Kuikuti yang
menurutku bisa menguras tenaga. Paskib, basket dan osis itu sudah cukup. Makin
lama aku terbiasa dengan keadaan tanpa Kak Fadil. Aku juga ingin memperhatikan
Kak Fadil, akupun juga kalah dengan kekuatan masa lalunya, lebih baik aku
mengalah. Untuk apa aku harus memikirkan Kak Fadil, dia pasti terjaga dengan
Kak Mega pikirku. Kuberjalan dengan semua kepadatan ekskul.
Kak Fadil datang, membawa sejuta rindu yang dia pendam selama aku tak
menghubunginya. Meminta aku kembali seperti dahulu, awal kita membangun
perasaan ini. Rindu itu menghilang, mungkin cinta juga akan pergi. Semua
datang, memenuhi ruang perasaanku yang hampir kosong, ketika dia datang
berpesan singkat seperti itu. Tangisku jatuh lagi. Entah untuk berapa ratus
kalinya. Aku terlalu dalam bermain dengan perasaan itu, mungkin, hingga buatku
menangis seperti ini. Bintang kemanakah senyumanmu? Kemanakah janjimu untuk tak
menangis lagi?
Aku mengalah lagi. Mempercayai katanya yang menjalin persahabatan dengan
Kak Mega. Suasana kembali tenang, kembali seperti semula. Ketika rindu yang
terpendam dalam kini menguap merasakan terbalas. Aku merindukan saat – saat
ini.
Desember
Bulan terakhir dalam tahun
Banyak kenangan yang tersimpan
Bahagia dan derita
Senyuman dan tangis
Mewarnai setiap detik
Hujan mengiringi kepergiannya
Dingin menusuk kulit berlari mengikuti
Tuhan.. Datangkan bahagia di Desemberku
Tadahanku merengek meminta kabulanMu
Sujudku bersungguh bersama tangisku
Tanganku mengadah. Mencurahkan semua perasaan dan keinginanku kepada
Tuhan. Aku hanya meminta melancarkan operasi Kak Fadil. Semoga dia yang
terbaring disana bersama alat – alat dokter yang bekerja bisa tersenyum kembali
seperti dahulu. Jangan pisahkan aku dengan Kak Fadil Tuhan, aku belum siap, aku
belum mampu. Wujudkan harapannya untuk melihat indahnya gantinya tahun
bersamaku, disini. Air mataku jatuh satu persatu. Tak henti – hentinya aku
menyebut nama Tuhan bersama tasbihku.
Aku tetap berjuang untukmu sayang, tenanglah. Jangan merasa sendirian.
Kamu berjuang, dan aku juga berjuang. Tak mungkin aku membiarkanmu berjuang
sendirian melawan antara hidup dan matimu meski aku hanya berjuang lewat ucapan
doaku.
Semalaman aku tak bisa tidur. Aku gelisah. Handphone disampingku
terus aku pandangi, barangkali ada kabar tentang Kak Fadil dari Kak Shasa. Aku
beranjak dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi mengambil air wudhu. Baru
kusadari mataku sembab. Entah berapa banyak air mata yang kukuras. Mungkin bisa
satu ember besar. Kata orang, aku terlalu cinta. Ya, aku sangat mencintai sosok
tinggi itu. Bait doaku terucap dari bibir mungilku. Aku terus menyebut
nama-Nya. Tasbih yang melingkar di jariku terus berputar, berharap Tuhan
membalas doaku. Mataku lelah, mataku sembab, aku tak merasakannya. Aku hanya
menginginkan Kak Fadilku berhasil lari kata “maut”. Sejenak, mataku mulai
tertutup terbalut mukena putih.
Ringtone handphoneku memanggil. Aku terbangun. Segera
berlari ke kamar mengambil handphone. Kak Shasa!
“Ada apa kak? Gimana sama operasinya Kak Fadil?”
“Operasinya berhasil! Sekarang dia lagi istirahat Bintang” Suara Kak
Shasa menangis haru. Tuhan terima kasih telah membalas surat kecilku. Aku
bersujud mengucap syukur. Haru mewarnai pagi butaku. Sungguh ini yang
kunantikan. Kamu sembuh sayang..
Sinar mentari mencoba menembus mataku. Kutarik selimutku. Tubuhku
digoncangkan Ira, adikku. Tangan mungilnya mencoba membangunkanku. Suara
mungilnya memberitahu ada telepon dari handphoneku, dari Kak Fadil.
Ada sekitar 10 panggilan yang tak terjawab. Aku telepon balik.
“Maaf ya Kak, tadi aku ketiduran. Jadinya ga denger kalo kakak telfon
aku”
“Seharusnya aku yang minta maaf, gatau waktu buat telfon kamu sayang,
hehe” Tawa renyah dan suara khas itu yang kurindukan. Aku tersenyum mendengar
suara yang menenangkan batinku.
“Entar kalo aku udah sembuh, liburan aku bakal ke Lumajang, aku pengen
liat sawah disana. Boleh ya?” Dia memohon, persis anak kecil meminta mainan
baru yang mengusik matanya.
“Gak boleh! Kakak masih sakit!”
“Yaaa.. jadi gak pengen ketemu aku nih? Yaudah aku pacaran lagi deh sama
cewek Jakarta”
“Walaah jangan dong. Jangan ngambek, iyadeh boleh tapi kalo
sembuh” Kak Fadil tertawa kemenangan. Aku juga tertawa. Kak Fadil bercerita ini
itu, aku juga menceritakan ketika aku harus melangkah sendirian tanpa dia. Kak
Fadil tertawa saat ingat aku ngambek karena cemburu, katanya persis anak kecil.
Kami tertawa lepas. Tak ada beban. Desemberku, awal kebahagiaanku. Disinilah,
Tuhan menyisipkan bahagiaku di bulan Desember. Tangis sakitku berubah tangis
kebahagiaan. Cinta yang kuperjuangkan bertahan bersamaku, menyamai langkahku
kembali.
---
“Hayoo lagi ngelamunin apa? Akunya kok gak diajak sih?” Kak Fadil
tersenyum menangkap basah aku yang melamun masa setahun yang lalu. Aku tak
sadar sedari tadi dia menatapku begitu detailnya. Aku terperanjak. Aku
mengelak.
“Udah main bohong ya sama aku?” Dia menggelitikiku. Aku tertawa. Tertawa
selebarnya dan melangkah dari masa yang sudah mengajarkanku arti
kesabaran, keikhlasan, dan kedewasaan dalam menghadapi masalah.
Cinta bukan untuk dikorbankan melainkan untuk diperjuangkan. Perjuangkan
bila kamu yakin dialah orang yang pantas kamu perjuangkan. Cinta tak pernah
mengharapkan balasan, karena cinta selalu memberi. Cinta tak mengenal dimana
dia akan menghampiri ruang perasaanmu yang kosong, entah dunia nyatamu bahkan
mayamu, seperti jatuh cinta dengan teman sosial mediamu itu tidak salah, cinta
tak pernah menyesatkan, hanya saja kamu yang takut melangkah mengikuti arus
cinta yang menurutmu semu yang tak tahu akhirnya. Masa lalu selalu ada
dibelakang setiap orang. Masa lalu jadikan pelajaran jangan jadikan ia sebagai
alasan kamu terjatuh dalam dunia gelapnya. Sekarang aku tahu disaat Tuhan belum
mengabulkan semua doaku, dia mempunyai kebahagiaan yang lebih dari yang aku
minta. Aku juga sadar, bila aku terlalu menuntut kepada Tuhan dan selalu
menyalahkan Tuhan, padahal dia telah menyiapkan kejutan yang terindah dalam
hidupku. Kak Fadil membelai lembut kepalaku, membenamkanku dalam dadanya yang
bidang. Detak jantungnya terdengar jelas. Hangat. Aku terlindungi. Awan putih
disana berlari menjauh, memperlihatkan cakrawala senja biru bercampur sinar
oranye matahari yang akan pulang. Lewat angin senja Malaikat Tuhan tersenyum
memberikan hasil raporku yang berhasil lulus menghadapi ujianNya, bahagia. Dari
ufuk barat, matahari cantik menenggelamkan dirinya didalam gunung agung, Semeru
seolah tak mau menatapku dan malaikatku, Kak Fadil..
oleh Ninda pada pada 23hb Disember 2012 pukul
10.23 ptg
Geje puol eh..
Yang baca, komenen age rah :D
0 komentar:
Posting Komentar